Mengkritik Tapi Tak Mau Ditangkap, Firman Soebagyo: UU ITE Harus Diubah Lagi

(Foto: Anggota Badan Legislasi DPR RI Firman Soebagyo)

Kabarpatigo.com - JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo mengungkapkan sebenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla.

Firman membenarkan bahwa negara memang mempersilakan masyarakat untuk mengkritik kinerja atau kebijakan pemerintah.

Namun, dia juga mengakui bahwa memang banyak orang yang ditangkap polisi setelah menyampaikan pendapatnya di media sosial. Firman pun melihat, akar permasalahan dari kasus penangkapan tersebut berasal dari aturan yang berlaku.

Hal ini menanggapi pernyataan JK Soal bagaimana caranya mengkritik pemerintah namun tidak dipolisikan.

“Masalah penangkapan ini kan bukan sekarang saja, zaman Pak JK jadi Wapres (SBY) juga sudah ada penangkapan dan sudah ada dasarnya yakni undang-undang. Jadi ini jadi bukan masalah pemerintahan Pak Jokowinya, tapi masalah undang-undang. Kalau kita menghendaki tidak ada penangkapan, undang-undangnya harus diubah lagi," kata Firman saat dihubungi merdeka.com, Senin (15/2/21).

Seperti yang diketahui, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pertama kali diundangkan pada tanggal 21 April 2008.

Satu tahun setelah UU itu disahkan, seorang ibu dari Tangerang, Prita Mulyasari dilaporkan oleh RS Omni Internasional Alam Sutera karena mengirim email yang berisi keluhan layanan rumah sakit. Prita menjadi orang pertama yang dijerat UU ITE ini.

Oleh sebab itu, kata Firman, masyarakat harus betul-betul memperhatikan pasal-pasal yang tertuang dalam UU ITE karena pada prinsipnya, aparat kepolisian tidak akan menindaklanjuti suatu kasus jika tidak ada dasar hukum yang jelas.

“Polisi hanya melaksanakan tugas dari undang-undang. Polisi tidak bisa menangkap kalau tidak ada yang melapor. Kalau tidak ada yang merasa dirugikan, ya polisi tidak akan mencari-cari perkara ke masyarakat,” kata anggota Komisi IV DPR RI itu.

27 Oktober 2016, DPR mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Pasal yang diubah adalah tiga pasal karet tentang penghinaan/pencemaran nama baik, pornografi, dan penyadapan, yakni Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3).

Oleh sebab itu, kata Firman, bila masyarakat masih menilai ada pasal-pasal karet dalam UU ITE, dia pun meminta masyarakat untuk menyampaikan keluhannya kepada DPR. Dengan begitu, DPR bisa membahas kembali dan merevisi UU ITE.

“UU ITE itu kan memang memberikan rambu-rambu ke masyarakat, nah kalau memang dianggap pasal karet, berarti yang harus diperbaiki undang-undangnya karena di situ ada celah hukum. DPR terbuka untuk publik kok,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Firman menilai pernyataan mantan Ketua Umum Partai golkar itu tidak salah. Jika melihat data-data yang dimiliki oleh SAFEnet yang dikeluarkan pada Juli 2020 lalu, jumlah kasus UU ITE sejak tahun 2008 hingga 2019 mencapai 285 kasus. Kasus terbanyak yakni terkait provokasi dan ujaran kebencian.

Politisi asal Pati ini pun meminta masyarakat untuk tidak takut mengkritik kebijakan pemerintah selama kritikan tersebut tidak mengandung ujaran kebencian. Menurutnya, kritik dari masyarakat sangat diperlukan oleh pemerintah. Apalagi kritik dari seorang tokoh yang pernah menjabat menjadi wakil presiden di negara ini.

“Kita tidak boleh alergi mendengarkan kritik. Justru menurut saya, selama kritik itu positif dan mampu memberikan solusi ya itu bagus. Apalagi pendapat mantan wakil presiden. Tentunya bisa memberikan solusinya seperti apa. Negara itu milik kita bersama, harus dikelola bersama,” ujarnya.

“Masyarakat juga harus menyadari, kalau tidak mau ditahan jangan memviralkan/ membuat hoaks yang merugikan dan melanggar undang-undang,” pesannya. (Merdeka.com)

#FirmanSoebagyo

Komentar