Muhammadiyah: Reformasi Sistem Pemilu 2024

(Foto: Muhammadiyah)

Kabarpatigo.com - Pada Muktamar ke-48 yang digelar pada 18-20 November 2022 di Solo, Muhammadiyah telah merumuskan dan melahirkan sejumlah pokok pikiran menyahuti isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal.

Di antara isu strategis kebangsaan yang jadi sorotan Muhammadiyah adalah tentang Reformasi Sistem Pemilu dan Suksesi Kepemimpinan 2024.

Berikut kami sajikan nukilan narasi pandangan Muhammadiyah terkait Reformasi Sistem Pemilu dan Suksesi Kepemimpinan 2024 seperti yang tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar ke-48 Muhammadiyah.

Baca Juga: Begini Respon Tanggap Darurat Muhammadiyah Atasi Banjir Pati

Reformasi Sistem Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sistem dan proses politik yang mencerminkan pelaksanaan dan kualitas demokrasi. Pemilu adalah instrumen yang dengannya rakyat memilih anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan kepala desa.

Pemilu yang bermutu menghasilkan anggota legislatif dan eksekutif yang berkualitas sebagai institusi dan aktor yang menentukan kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Indonesia sejak kemerdekaan 1945 telah menyelenggarakan dua belas kali pemilu legislatif dan empat kali pemilihan presiden secara langsung. Idealnya, sistem dan pelaksanaan pemilu semakin berkualitas.

Akan tetapi, sebagaimana terlihat dari indeks demokrasi, sistem dan pelaksanaan pemilu sarat dengan masalah, terutama dengan meluasnya politik uang yang membudaya dan politik identitas.

Pemilu sebagai instrumen demokrasi bahkan melahirkan praktik oligarki kekuasaan yang tidak sejalan dengan substansi demokrasi.

Di antara masalah politik dan demokrasi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah melemahnya moralitas, oligarki kekuasaan, dominasi kekuasaan partai politik, yang salah satu akarnya ialah sistem pemilu yang liberal.

Kesadaran dan akhlak berpolitik masyarakat, penyelenggara pemilu, dan para elite partai politik maupun elite kekuasaan lainnya perlu ditingkatkan dalam bingkai nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa.

Bersamaan dengan itu yang paling penting untuk ditinjau kembali ialah sistem pemilu dan sistem politik yang liberal, yang tidak sejalan dengan Pancasila.

Solusi hilir yang bersifat kesadaran nilai dan moral politik akan membawa perubahan signifikan apabila diperkuat dengan reformasi sistem pemilu sebagai solusi hulu.

Sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif perlu diubah. Pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung tidak perlu diubah.

Akan tetapi, mekanisme pemilihannya perlu diperbaiki ke arah yang lebih efisien dan efektif, misalnya melalui sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas serta pemilihan eksekutif terintegrasi untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan masyarakat atau polarisasi politik.

Praktik pemilihan presiden dan wakil presiden kerap memicu polarisasi apabila kompetitornya hanya dua pasangan kandidat sehingga Muhammadiyah mendorong kompetisi pemilu yang lebih meminimalisasi dampak polarisasi dan politisasi identitas yang tidak produktif bagi penguatan bangunan kebangsaan.

Dukungan pada partisipasi aktif partai politik untuk memproyeksikan kader terbaik bangsa berlaga secara sportif dan bermartabat.

Bersamaan dengan itu ke depan penting ada mekanisme dikontrol, agar proses dan produk legislasi perundang-undangan maupun peraturan pemerintahan hingga ke kementerian tidak bersifat oligarkis, monolitik, dan tertutup pada aspirasi publik sehingga bertentangan dengan asas dan substansi demokrasi.

Pemilu 2024 juga diharapkan menjadi momentum untuk menata kembali praktik ketatanegaraan yang liberal dan salah kaprah, penataan institusi-institusi yang superpower atau superbodi seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam satu paket penataan atau reformasi sistem ketahanan dan keamanan nasional.

Suksesi Kepemimpinan 2024

Bangsa Indonesia sesuai konstitusi setiap lima tahun sekali menggelar suksesi kepemimpinan yaitu Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan secara serentak terkait pemilu presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI.

Praktik normalisasi praktik politik uang, oligarki partai, pragmatisme politik, candidate centered, dan pembelahan politik menjadikan pemilu lima tahunnya seringkali tidak menjadi ajang untuk melipatgandakan politik yang berorientasi pada kerja, pengkhidmatan, dan politik harapan (politics of hopes) namun lebih dihinggapi penyakit politik oligarki dan haus kekuasaan.

Bersamaan dengan itu tumbuh politik ketakutan (politics of fear) akan konflik akibat polarisasi politik, politik identitas, sentimen SARA, dan politik penghukuman (pemerasan).

Tumbuh populisme yang hanya mengejar popularitas dan dukungan rakyat secara luas tanpa dibarengi dengan jiwa autentik mencintai dan memperjuangkan nasib rakyat yang mayoritas masih jauh dari hidup adil, makmur, sejahtera, dan maju.

Bangsa Indonesia sudah mengalami pemilu sebanyak lima kali pascareformasi 1998, namun politik elektoral lebih sering merisikokan kohesivitas sosio-budaya yang disebabkan politik sentimentil yang destruktif dan keengganan menghargai keragaman pilihan sebagai keniscayaan.

Serentaknya dan kompleksnya sistem pemilu seharusnya juga menuntut banyak kalangan yang mencintai negeri ini untuk memikirkan dan mendorong kepemimpinan yang memiliki platform visi kebangsaan dan visi kenegaraan yang kuat, visi penghargaan terhadap kemajemukan dan persatuan dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika, visi menyatukan, visi memakmurkan, dan visi memajukan Indonesia.

Para pemimpin eksekutif dan legislatif seharusnya didorong untuk memiliki orientasi pada nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa yang mendalam dan autentik.

Para pemimpin yang terpilih dan diamanahi menjadi pengelola negara ini haruslah sosok-sosok negarawan sejati yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dinasti, dan kepentingan sesaat lainnya.

Para pemimpin yang dipilih juga mampu membebaskan dari kooptasi berbagai kekuatan asing maupun domestik, yang terus-menerus bekerja membelokkan negara dari fungsi dan orientasi kepatuhan konstitusional (constitutional obedience) dan keluhuran nilai Pancasila.

Para pemimpin yang dihasilkan oleh Pemilu 2024 juga diharapkan memiliki prinsip politik untuk melepaskan dan tidak untuk melanggengkan kekuasaan. (*)

#Muhammadiyah

Komentar