Bamsoet Ungkap Politik Uang Masih Menjadi Masalah Besar dalam Pemilu di Indonesia

(Foto: Bambang Soesatyo saat beri kuliah Pascasarjana Universitas Pertahanan)

Kabarpatigo.com - JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan) Bambang Soesatyo mengungkapkan politik uang masih menjadi masalah besar dalam Pemilu di Indonesia.

Pemilu yang diharapkan mampu membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia dan menjadi simbol demokrasi, mulai dipertanyakan.

Banyak yang mulai meragukan apakah Pemilu cukup efektif untuk mengubah sistem politik yang ada, ataukah Indonesia justru membutuhkan revolusi politik untuk mencapai perubahan yang lebih mendalam.

"Pemilu sering kali dijadikan ajang untuk praktik korupsi, di mana calon-calon legislatif atau eksekutif menggunakan uang untuk membeli suara. Hal ini merusak integritas Pemilu dan membuat proses politik terasa tidak adil, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke uang atau kekuasaan," ujar Bamsoet saat memberikan kuliah Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, secara daring, di Jakarta, Kamis (12/6/25).

Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, di sisi lain, partisipasi politik yang inklusif dan fair merupakan pilar utama demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Dalam era di mana politik masih berpotensi didominasi oleh praktik money politics, keterlibatan kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan, seperti perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta masyarakat miskin, sangat diperlukan agar partisipasi politik dapat berjalan secara optimal.

Tanpa kehadiran mereka, kebijakan yang dihasilkan akan cenderung bias dan tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat yang beragam.

"Masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk membuka ruang politik seluas-luasnya bagi semua warga negara. Pemuda, perempuan, dan kelompok rentan bukan sekadar objek dalam demokrasi elektoral, tetapi subjek yang berhak menentukan arah bangsa. Dengan memperkuat partisipasi mereka, Indonesia bukan hanya membangun demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi tantangan zaman," tegas Bamsoet.

Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Jayabaya ini menguraikan, tantangan utama yang menghambat partisipasi inklusif adalah dominasi politik transaksional atau money politics.

Fenomena ini telah mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia. Menurut data Indikator Politik Indonesia pada Pemilu 2024, sebanyak 35% responden mengaku menentukan pilihannya karena adanya imbalan uang.

Angka ini menandakan pengaruh signifikan politik uang dalam keputusan memilih.

Lebih memprihatinkan lagi, sebagian masyarakat memaklumi praktik ini sebagai bagian dari 'budaya politik'. Dalam sistem seperti ini, kelompok dengan sumber daya finansial terbatas, yang sering kali adalah perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta masyarakat miskin, akan selalu berada dalam posisi subordinat.

Baca juga: Bertemu Sekjen Kemenkes RI, Bupati Pati Ajukan Bantuan Alkes untuk RSUD Soewondo

Baca juga: Potensi Kasus Covid-19 di Pati, Bupati Instruksikan Dinkes Segera Lakukan Pendeteksian

Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena sistem menuntut biaya tinggi untuk 'masuk' ke arena kekuasaan.

"Persoalan ini harus segera diurai. Di satu sisi, negara ingin membangun demokrasi yang partisipatif dan inklusif, namun di sisi lain membiarkan atau bahkan tanpa sadar melestarikan struktur politik yang menyulitkan kelompok marginal untuk berpartisipasi secara setara. Solusi dari permasalahan ini tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi membutuhkan ekosistem politik yang sehat, komitmen elite, serta penguatan kapasitas masyarakat sipil," kata Bamsoet.

Ketua Komisi III DPR RI ke-7 dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menjelaskan, peran legislatif dan pemerintah sangat penting mengatasi permasalahan tersebut.

Kedua lembaga tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pembuat undang-undang, tetapi juga sebagai fasilitator partisipasi publik yang adil dan bermakna.

Pemerintah dan legislatif harus mampu membangun mekanisme partisipasi yang membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini termarjinalkan. Misalnya, melalui forum aspirasi yang secara rutin melibatkan komunitas difabel, organisasi pemuda, kelompok perempuan pedesaan, atau komunitas adat.

Forum semacam ini bukan sekadar simbolis, tetapi harus diintegrasikan dalam proses legislasi dan pengawasan kebijakan publik.

Langkah lain dengan mendorong pendidikan politik yang kontekstual dan adaptif. Banyak generasi muda dan kelompok rentan yang belum sepenuhnya memahami cara kerja politik karena literasi politik yang terbatas.

Baca juga: Pemprov Adakan Retreat, M. Saleh: Ciptakan Kekompakan Pejabat Publik dalam Membangun Jateng

Baca juga: Menteri PPN/Kepala Bappenas sebut Muhammadiyah Organisasi yang Paling Siap Mengawal Perubahan

Di sinilah pendidikan politik harus mengambil peran. Bukan dalam bentuk ceramah formal yang membosankan, tetapi melalui metode kreatif, seperti lokakarya, diskusi komunitas, kampanye digital, atau simulasi parlemen yang melibatkan anak muda.

"Negara dan partai politik juga perlu lebih serius dalam menumbuhkan kepemimpinan baru dari kelompok marginal. Ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan kepemimpinan politik yang inklusif, membuka jalur karier politik yang tidak mahal, serta menciptakan sistem mentoring yang mendorong pemuda dan perempuan belajar langsung dari legislator senior," papar Bamsoet.

Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menegaskan, inklusi politik bukan hanya tentang keadilan representasi, tetapi juga tentang kualitas kebijakan publik.

Semakin beragam pihak yang terlibat dalam proses politik, semakin besar kemungkinan bahwa kebijakan yang dihasilkan akan responsif terhadap kebutuhan masyarakat luas. Misalnya, keterlibatan perempuan dalam legislatif terbukti berkontribusi terhadap lahirnya kebijakan-kebijakan yang sensitif gender.

Seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada tahun 2022, setelah perjuangan panjang yang sebagian besar didorong oleh legislator perempuan dan kelompok masyarakat sipil.

Selain itu, kehadiran pemuda dalam parlemen juga mulai membawa nuansa baru dalam isu-isu kebijakan, seperti digitalisasi pelayanan publik, keberlanjutan lingkungan, hingga transparansi anggaran.

Meskipun jumlahnya belum signifikan, legislator muda mampu menunjukkan bahwa representasi generasi muda dapat mendorong perubahan dalam pendekatan komunikasi politik yang lebih terbuka dan modern.

"Namun, semua langkah ini akan percuma jika sistem politik masih terjebak dalam pola transaksional yang koruptif. Karena itu, pembenahan sistemik seperti reformasi pendanaan partai politik, transparansi anggaran kampanye, serta penegakan hukum terhadap praktik money politics harus menjadi prioritas utama. Tanpa itu, keberagaman dalam daftar calon legislatif hanya akan menjadi formalitas yang menutupi kenyataan bahwa akses ke kekuasaan masih ditentukan oleh uang dan koneksi. Bukan oleh kompetensi dan representasi," pungkas Bamsoet. (*)

Komentar