Gemuruh Tanah Jawa: Sound Horeg sebagai Nyanyian Jiwa

Oleh : Muhammad Iqbal*

(Foto: sound horeg)

Kabarpatigo.com - Langit Jawa membentang kelabu, senja menyelimuti ufuk dengan rona muram, tatkala sebuah dentuman memecah keheningan. Bukan petir, bukan ledakan, melainkan sound horeg-deru budaya yang menggetarkan tanah, jendela, dan jiwa.

Truk-truk raksasa, dihias lampu neon yang berkelap-kelip laksana bintang nan tersesat, berparade di jalan-jalan desa, menyeret menara speaker yang melontarkan musik elektronik bertempo cepat. Bass menelikung di dada, membuat jantungan berdegup liar. Pemuda-pemuda berjoget dalam keramaian, keringat membasahi kaus mereka, sementara Disc Jockey (DJ) di atas truk memainkan irama yang seolah memanggil langit untuk turun dan menari.

Namun, di pinggir jalan, seorang ibu memeluk anaknya yang menangis ketakutan, matanya penuh amarah yang tak terucap. Di kejauhan, seorang kakek duduk di beranda, menggumam tentang zaman yang telah lenyap dalam kebisingan.

Sound horeg bukan sekadar suara. Ia adalah nyanyian jiwa Nusantara, cerminan bangsa yang bertungkus-lumus di persimpangan tradisi dan modernitas, kebersamaan dan ketimpangan, kebebasan dan penindasan.

Tersapu Dentuman

Di sebuah desa di Pati, titimangsa 11 Agustus 2024. Sukati berdiri di ambang pintu rumahnya, tangannya mengepal. Dentuman sound horeg dari karnaval desa mengguncang dinding bambu, membuat anak balitanya menangis hingga napasnya tersengal. “Tolong kecilkan suaranya,” teriaknya ke arah truk yang melaju, suaranya pecah di tengah bass yang menggelegar. Akan tetapi, kerumunan tidak peduli.

Baca juga: Diterima Pemprov Jateng, Gubenur Dukung Jambore Nasional Relawan Muhammadiyah dan Aisyiyah di Karanganyar

Baca juga: "Sound Horeg Menjadi Sound Karnaval", Hasil Pertemuan Pengusaha Sound dengan Bupati

Seorang pemuda, wajahnya memerah karena minuman keras, melangkah mendekat, jarinya menuding. “Kamu siapa, berani macam-macam?” Sukati mundur, jantungnya berdegup kencang, tapi amarahnya lebih besar dari ketakutan. Malam itu, ia nyaris dikeroyok. Kisahnya viral di media sosial X, memicu gelombang komentar: ada yang membela kebebasan berekspresi, ada yang menuntut hak atas ketenangan.

“Saya cuma ingin anak saya bisa tidur,” keluh Sukati, duduk di tikar lusuh, matanya menatap sawah yang diterpa angin. “Tapi di sini, kalau kamu miskin, suaramu tak ada harganya.” Sukati adalah wajah jutaan warga yang tersisih oleh sound horeg. Rumahnya, gubuk ugahari di pinggir jalan, berderit setiap truk lewat.  Dalam psikologi musik, Susan Hallam, Psychology of Music (2019) meneroka bahwa musik keras dengan ritme cepat dapat memicu respons stres fisiologis—detak jantung meningkat, kortisol melonjak—terutama bagi mereka yang tidak menginginkannya. Bagi Sukati, sound horeg adalah invasi yang merampas ketenangan, memaksanya menanggung beban emosional yang tak ia pilih.

Lauren E. Osborne dalam bukunya, Hearing Islam: The Sounds of a Global Religious Tradition (2025) menyebut fenomena ini “politik afektif”: emosi kolektif menjadi alat untuk memperjuangkan ruang dan identitas. Namun, psikologi musik menambahkan bahwa sound horeg menciptakan “konflik arousal” bagi Sukati, di mana musik yang tidak diinginkan memicu ketidaknyamanan psikologis. Dalam jaringan sosial desa, Sukati adalah simpul yang rapuh, terputus dari kekuasaan dan sumber daya.

Di Jember, Agustus 2023, Arif, sosok DJ amatir berusia 22 tahun, di atas truk sound horeg milik “Brewog Audio.” Lampu neon menerangi wajahnya yang berkeringat, tangannya lincah memutar knob mixer, menciptakan gelombang suara yang menggetarkan ribuan orang di bawahnya. “Ini bukan cuma musik,” katanya, suaranya nyaris tenggelam di tengah dentuman. “Ini cara kami bilang ke dunia: kami di sini, kami hidup.” Bagi Arif, sound horeg adalah panggilan jiwa. Ia besar di desa, jauh dari gemerlap kota, namun YouTube membawanya ke dunia DJ internasional. “Kota punya klub, kami punya truk,” ujarnya, matanya berbinar.

Sound horeg adalah ekspresi budaya autentik, lahir dari dorongan anak muda desa untuk menegaskan identitas di tengah arus globalisasi. Kata “horeg” (bergetar dalam bahasa Jawa) menangkap esensinya: gerakan fisik dan emosional yang menyatukan komunitas. Berawal dari takbir keliling, fenomena ini berevolusi sejak 2010-an, menggabungkan teknologi audio murah, musik elektronik, dan semangat karnaval.

Osborne menyebut ini “jaringan afektif,” di mana teknologi dan ritual menciptakan pengalaman kolektif. Dalam psikologi musik, Hallam (2019) menjelaskan bahwa musik dengan ritme cepat dan bass berat memicu “entrainment”—sinkronisasi fisiologis yang meningkatkan euforia dan rasa kebersamaan. Bagi Arif dan ribuan pemuda, sound horeg adalah katalis emosi yang membentuk identitas kolektif, membuat mereka merasa hidup di tengah anonimitas desa.

Namun, di balik euforia, ada bayang-bayang. Sound horeg kiwari menjadi industri, dengan Brewog Audio mengenakan tarif Rp30 juta per acara, didukung sponsor korporat seperti merek rokok. Arif hanya mendapat upah kecil, sementara keuntungan mengalir ke pemilik sound system. “Saya bahagia main musik,” katanya, tapi matanya menyiratkan keraguan. Psikologi musik menunjukkan bahwa musik memperkuat identitas sosial, tetapi tatkala dikomersialisasi, ia dapat menciptakan alienasi. Arif adalah simbol generasi yang terperangkap: mereka mencari makna melalui musik, tetapi musik itu telah menjadi komoditas, mengikat mereka dalam rantai ekonomi yang tidak mereka kuasai.

Sound horeg adalah mesin ekonomi lokal. Di Jawa Timur, sebuah acara menghasilkan Rp50 juta untuk penyewaan sound system, Rp15 juta untuk tukang parkir, dan jutaan untuk pedagang kaki lima. Nama-nama seperti Riswanda dan Brewog Audio menjadi merek masyhur, menyaingi festival kota besar. Akan tetapi, keuntungan ini tidak merata. Warga miskin seperti Sukati, yang tinggal di pinggir jalan, hanya mendapat getaran dan gangguan, tanpa manfaat ekonomi.

Di satu desa di Demak, April 2024, sembilan orang, termasuk kepala desa, ditangkap karena merusak jembatan agar truk sound horeg bisa melintas untuk acara bersih desa. Kisah ini, yang viral di X, menunjukkan fanatisme yang mengorbankan kepentingan bersama. “Mereka bilang ini untuk desa,” kata seorang warga, “tapi yang untung cuma panitia.” Osborne menyebut ini ketegangan dalam jaringan sosial. Psikologi musik menambahkan bahwa musik dapat memicu “group polarization” (Hallam, 2019) memperkuat ikatan kelompok, tetapi juga memicu agresi terhadap mereka yang dianggap “luar.” Insiden ini mencerminkan bagaimana sound horeg memperdalam perpecahan antara yang berkuasa dan yang tersisih.

Kesenjangan diperparah oleh akses teknologi. Sound horeg membutuhkan investasi besar, hanya terjangkau oleh kelompok tertentu. Warga miskin menjadi penonton pasif. Pertanyaannya: apakah budaya, yang seharusnya milik semua, telah menjadi hak istimewa? Psikologi musik menunjukkan bahwa musik dapat menyatukan, tetapi ketika aksesnya tidak merata, ia memperdalam perpecahan, meninggalkan suara seperti Sukati terkubur dalam kebisingan.

Sound horeg adalah anak kandung kapitalisme neoliberal. Musik elektroniknya diimpor melalui YouTube dan TikTok, teknologi audionya berasal dari rantai pasok global, dan estetika truknya mencerminkan budaya pop internasional—dari festival Tomorrowland hingga film fiksi ilmiah. Osborne berargumen bahwa budaya modern terbentuk melalui interaksi dengan pasar global. Sound horeg adalah tradisi lokal yang diproduksi ulang melalui logika neoliberal, di mana budaya menjadi komoditas. Penyelenggara bersaing dengan sound system lebih besar dan lampu lebih terang, didukung sponsor korporat yang memasarkan rokok dan minuman energi.

Psikologi musik menjelaskan bahwa musik dalam konteks komersial dapat memanipulasi emosi untuk tujuan ekonomi. Sponsor memanfaatkan euforia sound horeg untuk membentuk loyalitas merek di kalangan pemuda. Namun, komersialisasi ini menciptakan alienasi.

Di Jember, Juli 2023, dua kelompok sound horeg bentrok karena berebut rute parade, menunjukkan bagaimana persaingan pasar menghancurkan semangat komunal. Sound horeg adalah metafora kondisi manusia modern: kita menciptakan suara untuk menegaskan eksistensi, tetapi suara itu telah dijual, dikemas, dan dipasarkan, meninggalkan kekosongan di tengah kebisingan.

Baca juga: Kembali Polisi Tertibkan Penggunaan Sound Horeg di Dua Lokasi, Desa Bulumulyo dan Mantingan

Jeritan Kosong?

Sound horeg adalah cerminan Indonesia modern: bangsa yang bergetar di persimpangan tradisi dan modernitas, kebersamaan dan ketimpangan. Osborne melihatnya sebagai bukti budaya yang dibentuk oleh jaringan sosial dan teknologi. Sound horeg adalah fenomena emosional, memicu euforia, stres, atau agresi tergantung konteksnya.

Bagi Arif, sound horeg adalah panggilan untuk hidup, cara melawan anonimitas desa. Bagi Sukati, ia adalah pengingat ketidakberdayaan. Bagi penyelenggara, ia adalah peluang ekonomi. Untuk menemukan harmoni, kita perlu jaringan reflektif. Penyelenggara harus mendengar suara seperti Sukati, menetapkan batas volume, dan memastikan keuntungan merata.

Pemerintah dapat menyediakan ruang parade tanpa mengorbankan budaya. Psikologi musik menyarankan bahwa musik dapat menyembuhkan jika digunakan secara inklusif, mendengarkan semua suara dalam komunitas.

Dalam kata-kata Sukati: “Kalau suara saya didengar, mungkin malam tidak begitu bising.” Dan Arif, yang bermimpi di atas truk: “Musik ini adalah hidup saya, tapi kadang saya tak tahu untuk siapa.” Mereka adalah suara-suara manusia, terperangkap dalam getaran yang sama, tapi terpisah oleh kebisingan dunia. Sound horeg mengingatkan kita pada kerapuhan eksistensi: kita menciptakan suara untuk didengar, tetapi harmoni sejati lahir dari mendengar suara liyan.

Malam turun di Jawa, dentuman sound horeg menggema, mengguncang tanah dan jiwa. Ada nyanyian tentang pemuda yang bermimpi, ibu-ibu yang berjuang, dan desa-desa yang mencari makna. Sound horeg adalah denyut Nusantara, cerminan bangsa di tengah kebisingan dunia.

Sound horeg adalah cerita asing yang universal: tentang manusia yang mencari identitas melalui suara, dan belajar bahwa harmoni bukanlah keheningan, melainkan kemampuan mendengar satu sama lain di tengah resonansi. Di bawah langit Jawa, dentuman itu terus bergema, mengingatkan kita bahwa hidup adalah getaran—dan kita harus memilih, apakah getaran itu menyatukan, atau memecah belah.

*Muhammad Iqbal Mahasiswa (Program Doktor Sejarah Universitas Diponegoro Semarang. Sejarawan IAIN Palangka Raya)

Komentar