Demokrasi dan Ketidakpuasannya

(Foto: FO dan Direktur Konsultan Riset Nusantara, Muhammad Dudi Hari Saputra, MA)

Kabarpatigo.com - Banyak pemimpin dan cendekiawan menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling maju - yang mampu menciptakan keharmonisan antara pemerintah dan warganya.

Demokrasi memberdayakan warga negara dengan hak untuk memilih siapa yang mereka nilai akan menjadi pemimpin masa depan terbaik mereka.

Dengan cara ini orang mempertahankan pengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintah.

Namun, terkadang demokrasi bisa menyesatkan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia mengadopsi sistem pemilihan langsung setelah gerakan reformasi dimulai pada tahun 1998.

Rakyat Indonesia mengadakan aksi unjuk rasa dan demonstrasi memprotes rezim Orde Baru mantan Presiden Soeharto.

Setelah jatuhnya Soeharto, demokrasi Indonesia didefinisikan secara tidak tepat, menyebabkan salah tafsir bahwa demokrasi adalah untuk kepentingan terbaik sekelompok orang tertentu, dan kurang mementingkan pencarian kebenaran.

Praktik kontra-produktif yang melibatkan politik uang, menyebarkan desas-desus yang emosional, dan mempertahankan sistem patron-klien telah mengakibatkan para pemilih memilih pemimpin mereka berdasarkan emosi daripada logika.

Ikatan emosional berbasis agama, suku, budaya dan kekeluargaan menjadi pertimbangan utama pemilih Indonesia.

Visi, misi, dan platform kebijakan kandidat menjadi kurang penting. Emosi telah mengalahkan meritokrasi.

Begitu banyak calon pemimpin atau calon anggota parlemen menggunakan taktik kampanye yang dipertanyakan untuk menarik perhatian pemilih.

Negatifitas ini biasanya menghasilkan pemimpin yang buruk menghasilkan kebijakan yang buruk.

AS telah menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mencapai status adidayanya. “Mempromosikan demokrasi adalah strategi yang diadopsi oleh negara-negara dan institusi Barat terkemuka, khususnya AS, untuk menggunakan instrumen kebijakan luar negeri dan ekonomi untuk menyebarkan nilai-nilai liberal.” (Bayliss, 2008: 579).

Demokrasi hanyalah salah satu bagian dari liberalisme. Liberalisme sendiri merupakan pendekatan optimis terhadap politik global yang didasarkan pada dukungan hak asasi manusia, perdagangan bebas, dan demokrasi.

Ini berfokus pada individu daripada negara (Mansbach, 2008: 19), tetapi AS telah menerapkan liberalisme dengan cara yang sangat fleksibel.

Baca Juga: Peduli Lingkungan, Muhammadiyah Selenggarakan Seminar dan Pameran Lingkungan dan Keberagaman

Dalam beberapa kasus, AS telah menggunakan demokrasi sebagai prasyarat untuk diplomasi dan kerja sama dengan negara bangsa lain.

Demokrasi selalu menjadi bagian prinsip dari interaksi AS dengan negara bangsa lain, termasuk negara-negara seperti Irak atau Myanmar.

Dengan pendekatan ini, AS membenarkan kebijakan yang bertujuan memaksa negara lain untuk meliberalisasi perdagangan. Tampaknya itu bahkan berfungsi sebagai pembenaran untuk invasi.

Di sisi lain, beberapa negara teokrasi, khususnya Arab Saudi, masih menjalin hubungan baik dengan AS, membuktikan bahwa AS masih mampu menyebarkan pengaruhnya di negara-negara yang tidak memiliki sistem pemerintahan yang sama.

Sebaliknya, standar ganda Amerika telah membuat promosi nilai-nilai demokrasi agak tidak tepat.

Persepsi tentang demokrasi versi AS menjadi semakin tidak populer bagi banyak sarjana dan di beberapa negara bangsa di mana demokrasi gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kemakmuran.

Ada negara-negara yang belum menganut demokrasi yang masih meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai kesejahteraan rakyatnya melalui pemerintahan yang stabil dan penegakan hukum yang efektif. Kasus-kasus ini telah menyebabkan ketidakpercayaan terhadap demokrasi. (dd)

Artikel ini dimuat di Jakarta Post dengan judul "Democracy and its Discontent"

Komentar