Oleh : Dawam Pratikno*
(Foto: tugu Bandeng Pati)
Kabarpatigo.com - PATI - Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, para petani kini menghadapi tantangan baru yang lebih dari sekadar kerasnya tanah dan cuaca. Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mereka meningkat hingga 250%.
Kenaikan drastis yang diumumkan oleh Bupati Pati, Sudewo, pada pertengahan Mei 2025 ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Sudewo beralasan bahwa kenaikan tersebut perlu dilakukan karena sudah 14 tahun tarif PBB-P2 tidak mengalami kenaikan. Selain itu, penerimaan PBB Pati jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah tetangga seperti Jepara, Rembang, dan Kudus.
Menurut Bupati, dana tambahan tersebut juga akan digunakan untuk membiayai perluasan infrastruktur vital seperti jalan dan rumah sakit serta mendukung sektor pertanian dan perikanan.
Namun, kebijakan ini tampaknya mengabaikan realitas sosio-ekonomi yang sangat spesifik di Kabupaten Pati. Sebagai daerah agraris, sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Pati, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, namun juga sebagai penyangga pangan bagi Jawa Tengah. Sebagian besar penduduk Pati bergantung pada sektor ini, baik sebagai petani, buruh tani, maupun sebagai pekerja keluarga.
Meskipun ekonomi Pati tumbuh sebesar 5,13% pada tahun 2024, pertumbuhan ini belum sepenuhnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Garis kemiskinan bahkan meningkat menjadi Rp 559.499 per kapita per bulan, atau 5,06% lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan betapa besarnya tekanan ekonomi yang dihadapi penduduk Pati.
Dengan perekonomian yang masih didominasi oleh sektor pertanian dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, kenaikan PBB secara drastis tanpa mempertimbangkan kondisi lokal berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi di Kabupaten Pati.
Pajak dalam Perspektif Keadilan Ekonomi
Alasan bupati mungkin terdengar logis secara teknis. Namun, dari sudut pandang keadilan sosial dan etika pemerintahan, kebijakan ini memiliki masalah serius.
Ekonom ternama Thomas Piketty mengingatkan bahwa pajak seharusnya menjadi alat untuk mengurangi kesenjangan, bukan memperparahnya.
Kenaikan PBB sebesar 250 persen di Pati tidak membedakan antara tanah yang dimiliki oleh perusahaan besar dan tanah pertanian yang dimiliki oleh petani kecil. Bahkan properti mewah elit pun diperlakukan tidak berbeda dengan rumah-rumah sederhana. Jenis pajak ini bersifat regresif dan membebani mereka yang secara ekonomi paling lemah.
Prinsip dasar dari pajak ini adalah keadilan berdasarkan kemampuan membayar. Petani dengan sedikit sawah tidak boleh dikenakan pajak yang sama dengan pemilik lahan industri berhektar-hektar. Nelayan dengan rumah sederhana tidak boleh dikenakan pajak dengan cara yang sama dengan pemilik hotel mewah.
Baca juga: POPDA Jawa Tengah, Puluhan Atlet Pati Siap Berlaga
Baca juga: Segudang Permasalahan Banjir Rob di Wilayah Pantura Jateng, Ini Tuntutan BEM KM Unissula!
Jika perbedaan-perbedaan ini diabaikan, pemerintah terkesan memaksakan pembangunan dengan membebani rakyatnya sendiri. Ironis sekali jika pembangunan jalan dan rumah sakit umum baru dilabeli sebagai kemajuan, namun masyarakat harus berhutang, menjual tanahnya, atau dikenai pajak untuk membiayainya. Ini adalah kegagalan moral dari logika yang terlalu percaya pada angka-angka, namun melupakan orang-orang di balik statistik.
Hal ini juga berisiko merusak kepercayaan antara warga negara dan pemerintah. Pajak adalah bagian dari kontrak sosial. Warga negara membayar pajak karena mereka percaya bahwa uang tersebut akan digunakan secara adil. Jika pajak dianggap sebagai beban yang tidak adil, maka kepercayaan ini akan rusak. Pemerintah harus fokus pada bagaimana pajak dikumpulkan, bukan hanya pada berapa banyak pendapatan yang dapat dikumpulkan.
Pemerintah Kabupaten Pati harus membuka diskusi yang luas sebelum menetapkan kebijakan pajak sebesar ini. Melibatkan warga desa, Bupati, DPRD, akademisi atau lembaga independen dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan penegasan moral. Kebijakan pajak yang adil tidak hanya didasarkan pada data statistik, tetapi juga pada pemahaman empati terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Jika kebijakan tersebut merugikan masyarakat miskin, keringanan pajak, penangguhan atau pembebasan PBB untuk penduduk tertentu harus menjadi bagian integral.
Baca juga: Wakil Ketua I DPRD Pati Sampaikan Beberapa Masukan Strategis Saat Ikuti Musrenbang
Perbandingan yang Menyesatkan: Pati Berbeda.
Alasan bahwa penerimaan PBB Pati tertinggal dari Jepara, Rembang dan Kudus juga menyesatkan. Pendapatan daerah tidak dapat dilihat sebagai sebuah kompetisi. Setiap daerah memiliki struktur ekonomi, demografi dan sosial yang unik. Jepara dan Kudus merupakan pusat industri mebel dan perdagangan, sementara Rembang mulai berkembang menjadi kawasan industri pelabuhan. Di Pati, ekonomi pertanian terus mendominasi dengan petani, nelayan dan pekerja informal sebagai basis utama.
Menyamakan Pati dengan daerah industri atau perkotaan lainnya tanpa mempertimbangkan realitas sosiologis dan geografisnya adalah sebuah kekeliruan kategori. Pati tidak terbelakang, tetapi berada di jalur pembangunan yang berbeda.
Menaikkan tarif PBB untuk “mengejar ketertinggalan” dari daerah lain tanpa mempertimbangkan daya dukung masyarakat justru dapat memicu kemunduran sosial. Pemerintah harus berhenti melakukan generalisasi dan mulai merancang kebijakan berdasarkan realitas lokal. Kebijakan pajak adalah ujian bagi integritas dan empati pemerintah.
Para petani kecil di Pati tidak butuh simpati, mereka butuh kebijakan yang adil. Mereka hanya ingin agar tanah mereka tidak berubah dari sumber penghidupan menjadi beban yang tak tertahankan. Jika pembangunan adalah jalan menuju kemakmuran, maka pembangunan harus dimulai dengan keadilan. Dan keadilan tidak pernah datang dari angka-angka, tetapi dari keberanian untuk mendengarkan suara mereka yang paling rentan.
Maka jika Bupati dan pemerintah benar-benar ingin membangun Pati, mereka harus terlebih dahulu mendengarkan suara rakyat kecil yang paling terdampak dan tidak membebani mereka hanya demi target pendapatan daerah.
Pajak seharusnya tidak menjadi alat pemisah antara pemerintah dan warganya. Sebaliknya, pajak seharusnya menjadi jembatan solidaritas yang didasarkan pada keadilan, bukan persaingan.
Kebijakan PBB yang baru ini memunculkan pertanyaan sederhana namun mendasar, apakah negara hadir untuk melayani atau membebani warganya? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan arah pembangunan Pati, apakah kita akan benar-benar membangun kemajuan atau justru perlahan-lahan akan runtuh.
*Pengamat Sosial dan Kemasyarakatan
Komentar
Posting Komentar