Oleh: Dawam Pratiknyo*
(Foto: Dawam Pratiknyo)
Kabarpatigo.com - Di tengah gemuruh modernitas dan janji-janji pembangunan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, justru menyajikan sebuah ironi yang mendalam. Teriakan protes rakyat bergema, menggugat sebuah kebijakan yang tidak adil: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan fiskal biasa. Ia adalah cerminan dari kegagalan dialog, arogansi kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi landasan sebuah pemerintahan demokratis.
Untuk memahami mengapa kenaikan pajak ini begitu menyakitkan, kita harus menengok kembali ke akar sejarah perlawanan di tanah Jawa. Lebih dari seabad lalu, seorang petani bernama Samin Surosentiko menggerakkan ribuan petani melawan kebijakan pajak dan kerja rodi kolonial Belanda.
Ajaran Samin sederhana namun revolusioner: tanah adalah milik bersama, bukan milik penguasa. Perlawanannya bukan dengan senjata, melainkan dengan penolakan membayar pajak kepada pemerintah yang tidak adil.
Semangat ini, yang dikenal sebagai Sedulur Sikep, mengajarkan bahwa ketaatan buta bukanlah jalan menuju keadilan. Sebaliknya, kewaspadaan rakyat adalah pilar utama bagi negara yang sehat.
Kenaikan PBB-P2 di Pati seolah membangkitkan kembali memori pahit tersebut. Rakyat Pati, yang mayoritas adalah petani dan pedagang kecil, kini merasa seperti leluhur mereka di bawah penjajahan. Beban pajak yang mendadak melambung 250% di tengah kondisi ekonomi yang sulit adalah pukulan telak. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup rakyat.
Sebagaimana yang diungkapkan Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, kebijakan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, bukan justru membebani. Di sinilah letak ironi terbesar: pemimpin lokal, yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru membuat kebijakan yang seolah meniru cara-cara kolonial.
Gagalnya Dialog dan Stigmatisasi Protes
Masalah di Pati bukan hanya terletak pada besaran angka pajak, tetapi juga pada proses penetapannya. Kenaikan drastis ini, menurut pengakuan banyak pihak termasuk DPRD Pati sendiri, dilakukan tanpa kajian yang matang dan sosialisasi yang memadai. Pemerintah seolah-olah menganggap rakyat sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang berhak didengar suaranya.
Ketika rakyat Pati bersiap untuk menyuarakan ketidakadilan ini melalui demonstrasi, respons pemerintah justru menunjukkan semakin jauhnya jarak antara penguasa dan yang dikuasai. Alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah justru mengambil langkah-langkah represif. Penyitaan logistik demo, seperti air mineral kemasan yang dikumpulkan dari donasi warga, adalah tindakan yang tidak hanya sewenang-wenang, tetapi juga memperlihatkan ketakutan kekuasaan terhadap suara rakyat.
Retorika provokatif Bupati Pati, Sudewo, yang menantang massa untuk mengerahkan 50.000 orang, bukanlah sebuah tantangan, melainkan penghinaan terhadap hak konstitusional warga untuk berpendapat.
Baca juga: Batalkan Kenaikan PBB-P2, Bupati: PATI MUTIARA Hanya Tema Hari Jadi Pati
Baca juga: Bupati Pati Sudewo: Kenaikan PBB-P2 yang Mencapai 250% Bakal Diturunkan
Tuduhan bahwa aksi protes “ditunggangi pihak tertentu” adalah narasi klasik yang sering digunakan penguasa untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Narasi ini mengabaikan kemurnian aspirasi warga yang hanya ingin mendapatkan keadilan dan perlakuan yang layak dari pemimpin mereka. Ini adalah bukti bahwa demokrasi di Pati sedang diuji, dan sayangnya, di ambang kegagalan.
Inovasi vs Beban: Mencari Jalan Keluar
Argumen pemerintah bahwa kenaikan pajak diperlukan karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pati yang rendah – hanya 14,5% dari APBD – sesungguhnya menunjukkan kegagalan dalam mencari solusi inovatif.
Mengapa beban pembangunan harus dipikulkan sepenuhnya kepada rakyat kecil melalui pajak yang mencekik? Mengapa tidak ada upaya serius untuk menggali potensi lain, seperti menarik investasi atau mengoptimalkan sektor pariwisata yang kaya di Pati?
Wakil Ketua DPRD Pati, Bambang Susilo, telah mengingatkan bahwa pajak bukan satu-satunya jalan. Ada banyak cara lain untuk meningkatkan PAD tanpa harus membebani masyarakat. Pendekatan ini disebut sebagai keadilan distributif, di mana pembangunan harus dibiayai secara adil, bukan hanya dengan membebankan pajak kepada rakyat yang paling rentan. Negara yang sehat seharusnya mencari sumber daya dari berbagai sumber, bukan hanya dari kantong rakyat kecil.
Di sinilah kearifan Samin Surosentiko kembali relevan. Ajaran “hidup hanya mampir minum, tapi jangan sakiti yang memberi air” adalah pengingat yang kuat bagi para pemimpin. Rakyat adalah “pemberi air”, sumber kehidupan bagi keberlanjutan sebuah daerah. Melukai rakyat dengan kebijakan yang tidak adil sama dengan memutus mata air kehidupan itu sendiri. Pemerintah seharusnya meninjau ulang kebijakan ini, bukan hanya karena desakan massa, tetapi karena kesadaran akan kesalahan moral dan prosedural.
Baca juga: Hari Jadi Pati ke 702, Bupati: Momentum Mengenang Sejarah dan Membangun Kebersamaan
Baca juga: Rapat Paripurna, Sudewo Tegaskan Komitmen Pemkab untuk Fokus pada Sektor-Sektor Strategis
Menuju Demokrasi Deliberatif dan Rekonsiliasi.
Jalan keluar dari polemik ini bukan lagi sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan etika dan moral kepemimpinan. Pemerintah Pati perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi:
Pertama, pernyataan Bupati Sudewo untuk meninjau kembali kenaikan pajak harus diimplementasikan dengan transparansi penuh. Rakyat perlu tahu bagaimana formula penghitungan pajak itu dibuat.
Kedua, dialog dengan masyarakat harus dibuka secara jujur dan terbuka. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi rakyat sebelum membuat kebijakan, bukan setelahnya.
Ketiga, pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dunia usaha dan akademisi, untuk mencari sumber pendapatan lain yang lebih berkelanjutan dan tidak membebani rakyat.
Dan yang keempat, melibatkan tokoh-tokoh lokal, dalam dialog adalah langkah penting untuk menyembuhkan luka sejarah dan membangun kepercayaan.
Rakyat Pati tidak anti-pajak. Mereka mengerti bahwa pajak adalah kewajiban untuk membangun daerah. Namun, rakyat menolak ketidakadilan yang dibungkus dengan kebijakan, menolak kesombongan kekuasaan yang lebih suka menantang daripada mendengar. Mereka mewarisi semangat Samin, menolak tunduk ketika kebijakan yang dibuat salah.
Satu lagi, permintaan maaf Bupati Sudewo baru akan bermakna jika segera diikuti dengan pembatalan total kebijakan pajak 250% yang mencekik rakyat. Sejarah tidak akan mencatat kata-kata di ruang pers, melainkan tindakan nyata. Jangan sampai permintaan maaf ini hanya menjadi tameng pencitraan, sementara rakyat tetap dibebani pungutan tak adil.
Ujian kepemimpinan sejati bukan di depan kamera, tetapi di meja kebijakan. Pilihannya kini ada di tangan Sudewo: apakah ia akan dikenang sebagai Bupati yang berani membatalkan pajak demi mendengar jerit ‘wong cilik’, atau tetap dicatat sejarah sebagai “Bupati 250 persen” yang lebih mengutamakan anggaran daripada kesejahteraan rakyat. Rakyat Pati tidak butuh permintaan maaf, rakyat Pati butuh keadilan yang menyembuhkan luka. (*)
*Pegiat sosial politik
Komentar
Posting Komentar