PBB-P2 250%: Pragola – Samin dan Perlawanan Abadi Rakyat Pati

Oleh: Dawam Pratiknyo

(Foto: Kabupaten Pati)

Kabarpatigo.com - “Silakan lakukan (demo)! Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang aja suruh ngerahkan. Saya tidak akan gentar!!!” Tantangan Bupati Pati, Sudewo, pada Juli 2025 bukanlah retorika kosong. Itu adalah percikan api yang menyalakan kembali memori kolektif rakyat Pati.

Sejak Adipati Pragola II gugur melawan Mataram pada 1627 hingga gerakan Samin Surosentiko menolak pajak kolonial, darah perlawanan terhadap ketidakadilan telah mengalir dalam nadi mereka. Kini, ketika kebijakan kenaikan PBB-P2 sebesar 250% diumumkan, rakyat menjawabnya dengan menggalang ribuan dus air mineral dan menyiapkan demo 50.000 massa. Ini bukan sekadar protes pajak, melainkan pertaruhan martabat yang berakar dari sejarah panjang.

Warisan Pragola dan Samin tentang Revolusi Agraria

Sejarah Pati adalah mozaik perlawanan terhadap penindasan. Jauh di masa lalu, Adipati Pragola II gugur karena menolak tunduk pada Mataram, berpegang teguh pada prinsip “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terjajah.” Semangat itu hidup kembali pada sosok Samin Surosentiko di awal abad ke-20, yang menolak pajak Belanda dengan filsafat radikal bahwa tanah adalah milik orang yang menggarapnya, bukan pemerintah.

Gerakan tanpa kekerasan ini menjadi fondasi perlawanan sipil di Pati. Bahkan pada masa Revolusi Fisik 1945-1949, pertempuran di Kletek dan Pucakwangi terbukti menjadi benteng perlawanan agraria. Yang menyakitkan bukan sekadar angka 250% di atas kertas tagihan, melainkan pengkhianatan terhadap roh perlawanan yang diwariskan leluhur sendiri.

Di tanah tempat Pragola gugur demi menolak diperbudak Mataram, kini bupatinya justru memperbudak rakyat dengan pajak yang mencekik. Di lahan yang dulu dipertahankan Samin dengan prinsip “tanah bukan milik penguasa”, pemerintah daerah malah menjadikannya mesin ATM. Pola penindasan yang sama berulang, dulu Belanda merampas padi dengan senapan, kini satpol PP menyita air mineral warga demi “ketertiban” Kirab Boyongan – ritual yang justru menginjak-injak filosofi luhur yang dirayakannya.

Tragedi terbesar adalah ketika pemimpin menjadi penjajah baru; berseragam pejabat daerah, bersumpah atas nama rakyat, tapi kebijakannya lebih kejam dari kompeni. Mereka lupa, darah Pragola dan semangat Samin masih mengalir di tubuh rakyat yang kini memilih berdiri di depan kantor bupati, bukan menunduk di lahan mereka. Sebab bagi Pati, perlawanan bukan pilihan, tapi warisan yang tak bisa dikompromikan – seperti prinsip abadi mereka; lebih baik berdebu di jalan protes daripada hancur di ladang sendiri karena pajak menggila.

Kebijakan Sudewo bukan hanya kesalahan fiskal, melainkan pengkhianatan terhadap martabat rakyat. Di tengah angka kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi, kenaikan ini berpotensi untuk memaksa para petani menjual sawah, sumber penghidupan mereka.

Baca juga: Perkuat Ideologi dan Peningkatan Kepemimpinan, Muhammadiyah Pati Sukses Gelar IDEOPOLITOR

Baca juga: Semarak HUT ke-80 Kemerdekaan RI, Kodim 0718/Pati Gelar "Playon Minggu Esuk"

Baca juga: Maklumat PCNU Kabupaten Pati Terkait Aksi Demo 13 Agustus

Mengapa Demo Berlanjut Meski PBB-P2 Dibatalkan?

Meskipun PBB-P2 250% akhirnya dibatalkan, rencana demo 13 Agustus tetap berlanjut. Alasannya jelas: kepercayaan rakyat sudah runtuh. Permintaan maaf Sudewo dianggap pragmatis karena ia baru mundur setelah mendapat tekanan dari Menteri Dalam Negeri dan Gubernur, bukan karena mendengarkan suara rakyatnya. Kemarahan warga juga merupakan akumulasi dari pengkhianatan-pengkhianatan lain, seperti proyek videotron senilai Rp1,39 miliar dan renovasi alun-alun dengan anggaran Rp 2 miliar yang dianggap tidak pro-rakyat.

Dalam budaya Jawa, pemimpin seperti ini disebut “waton suloyo” pemimpin yang asal bicara dan memicu konflik tanpa kebijaksanaan. Seperti teriak coordinator aksi, Supriyono: “Kami dulu pendukungmu, tapi kini kami lawan ketidakadilanmu!”.

Di tengah kisruh ini, Sudewo memimpin Kirab Boyongan Hari Jadi ke-702 Pati dengan gemerlap. Namun, di balik kemegahan pawai, tersembunyi ironi yang pahit. Budaya, yang seharusnya menjadi jati diri, justru digunakan sebagai alat untuk membungkam protes. Pidato Sudewo tentang “menjaga identitas” terasa hampa karena ia mengabaikan filosofi Samin: “Hidup sekadar mampir minum, jangan sakiti pemberi air.” Bagi mereka, budaya bukanlah sekadar ritual seremonial, melainkan roh perlawanan itu sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh Sedulur Sikep yang mempertahankan tanah dengan cara damai namun gigih.

Masyarakat menuntut lebih dari sekadar janji lisan. Hingga kini, pembatalan tersebut masih belum memiliki payung hukum yang kuat. Tanpa revisi resmi Perbup No. 17/2025 dan Perbup No. 8/2025, janji bupati hanya menjadi angin lalu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Rakyat Pati ingin kebijakan yang dibuat dengan hati-hati, transparan, dan partisipatif, bukan hanya sekadar instruksi lisan untuk meredam protes. Hingga saat ini, pembatalan tersebut masih sebatas instruksi lisan dan edaran tertulis untuk seluruh camat se-Kabupaten Pati. Pasalnya, pembatalan secara lisan dan surat edaran tertulis bisa saja diabaikan oleh apparat di lapangan atau bahkan dibatalkan oleh pihak pengadilan. Hal ini menciptakan kekosongan hukum yang berbahaya, di mana rakyat tidak memiliki jaminan pasti bahwa janji bupati akan ditepati.

Baca juga: Marching Band AKPOL Hadir dan Ramaikan Kemeriahan Hari Jadi Pati ke-702

Baca juga: Warga RT 14 RW 2 Desa Sarirejo Pati Ramaikan HUT RI ke 80 dengan Jalan Sehat

Dua Jalan untuk Sudewo – Pragola atau Penjajah?

Perlawanan 2025 adalah evolusi gerakan Samin modern. Rakyat Pati tidak lagi hanya mengandalkan filsafat, tetapi juga menggunakan aksi digital, donasi melalui media sosial, dan gugatan hukum sebagai senjata baru. Tumpukan dus air mineral di halaman DPRD bukan sekadar logistik, melainkan monumen gotong royong yang mempermalukan kekuasaan. Rakyat Pati tidak menolak pajak secara mutlak, tetapi menuntut keadilan prosedural, transparansi, dan keterlibatan mereka dalam setiap kebijakan.

Sejarah akan mencatat Sudewo dalam dua narasi: seorang pemimpin yang belajar dari Pragola, berani turun dari singgasana, mendengarkan suara petani, dan mengoreksi kebijakan; atau seorang pejabat kolonial baru yang akan dikenang sebagai “Bupati Pajak 250%” yang arogan. Pilihannya kini ada di tangannya. Namun, rakyat Pati telah memilih jalan mereka: meneruskan warisan Samin dengan menolak tunduk pada kebijakan zalim.

Seperti diingatkan filosofi Samin: “Negara hanya berdiri jika pajak bukan penderitaan, tapi wujud gotong royong.” Dan di tanah Pati, gotong royong itu kini berwujud tumpukan air mineral – simbol bahwa ketika martabat diinjak, rakyat tidak akan diam. Maka di tanah Pati, arogansi penguasa yang lupa diri hanyalah tetes terakhir yang menggenangi kuburan pengkhianatan, sekaligus menumbuhkan benih perlawanan abadi warisan Pragola – tak pernah padam oleh keserakahan terhadap kekuasaan.

Sejarah Pati mengajarkan, arogansi penguasa tak pernah mampu membunuh benih perlawanan – ia hanya menyiraminya!. (*)

*Pengamat sosial politik 

Komentar