Transformasi Civil Society Menuju Ekonomi Kolektif: Menenun Demokrasi dari Dalam

Oleh: M. Shoim Haris*

(Foto: M. Shoim Haris)

Kabarpatigo.com - Indonesia hidup dalam paradoks yang mengiris: demokrasi politik kita bergelora, namun demokrasi ekonomi kita tersengal-sengal. Di satu sisi, kita menyaksikan gegap gempita pemilu, kebebasan bersuara, dan ruang publik yang ramai oleh perdebatan. Di sisi lain, kekuatan ekonomi tetap terpusat di segelintir elite, menciptakan arena di mana mayoritas kita hanya menjadi penonton yang pasrah. Inilah demokrasi prosedural kita—kaya upacara, namun miskin keadilan.

Paradoks ini bukan kecelakaan sejarah, melainkan konsekuensi dari pilihan yang belum kita ambil: mengubah civil society dari kekuatan moral semata menjadi kekuatan ekonomi yang nyata. Tanpa transformasi ini, demokrasi Indonesia akan selamanya menjadi wayang tanpa roh—gerak yang indah, namun tanpa substansi.

Gunung Emas Sosial yang Tertidur

Indonesia sebenarnya duduk di atas kekayaan sosial yang jarang disadari. NU dan Muhammadiyah memang menjadi dua raksasa dengan puluhan juta anggota dan jaringan yang menjangkau pelosok. Namun ekosistem civil society kita jauh lebih kaya dan berlapis.

Bayangkan mosaik hidup: dari Persis dengan keteguhan pemurniannya, Al-Irsyad dengan semangat pembaruannya, Mathla'ul Anwar dengan basis pesantren modernnya, hingga PUI, DDI, Nahdlatul Wathan, dan Al-Washliyah dengan akar kulturalnya yang dalam. Lintas iman, ada PGI dengan jejaring gerejanya, KWI dengan tradisi Katoliknya, Parisada Hindu Dharma, dan Walubi—masing-masing membawa modal sosial yang unik.

Di tengah keragaman ini, hadir jaringan intelektual seperti KAHMI dan ICMI—jembatan langka antara moral civil society dan rasionalitas kebijakan. Mereka adalah arsitek potensial yang bisa merancang sistem tanpa kehilangan jiwa.

Masalahnya bukan pada ketiadaan aktor, melainkan pada cerita yang belum kita tulis bersama. Civil society Indonesia sangat mahir dalam seni protes dan advokasi, namun masih gagap dalam seni produksi dan distribusi kolektif. Kita ahli menuntut keadilan, namun belum terampil menciptakannya.

Baca juga: Gelar Jambore di Wisata Poncodan, FKPPI Pati Konsolidasi Organisasi dan Karakter Kebangsaan

Belajar dari Jejak Global

Jejak global menunjukkan jalan yang mungkin. Di Italia, khususnya Emilia-Romagna, koperasi tumbuh bukan sebagai proyek negara, melainkan sebagai ekspresi organik civil society—simfoni antara gerakan buruh Katolik, sosial-demokrat, dan komunitas lokal. Dalam satu abad, mereka membangun ekosistem ekonomi kolektif yang menyumbang sepertiga PDB regional. Rahasianya? Tata kelola hybrid: demokrasi internal yang partisipatif dipadu dengan manajemen profesional yang kompetitif.

Spanyol memberi kita Mondragon—epik ekonomi kolektif modern. Bermula dari koperasi kecil, ia berevolusi menjadi konglomerasi industri global tanpa mengkhianati prinsip dasarnya: kepemilikan kolektif, rasio upah yang berkeadilan (maksimal 6:1 antara manajer dan pekerja terendah), dan reinvestasi sosial yang sistemik. Mondragon membuktikan bahwa ekonomi kolektif bukan nostalgia sosialisme, melainkan cara lain yang lebih beradab mengorganisasi ekonomi.

Di Global South, India melalui SEWA menunjukkan bahwa transformasi bisa dimulai dari titik paling sederhana: arisan, simpan pinjam, dan solidaritas perempuan pekerja informal. Dalam tiga dekade, SEWA berkembang menjadi ekosistem ekonomi kolektif nasional dengan 2,1 juta anggota. Amerika Latin menambahkan dimensi politik: ekonomi solidaritas di sana bukan sekadar bertahan hidup, melainkan membangun "negara dalam masyarakat" ketika negara formal gagal.

Asia Timur, melalui Korea Selatan, menawarkan jalur lain: Hansalim. Gerakan ini membuktikan bahwa kesadaran etis—lingkungan, kesehatan, keberlanjutan—dapat menjadi fondasi ekonomi kolektif yang tangguh, bahkan mampu mempengaruhi kebijakan nasional.

Pembagian Peran yang Cerdas

Dari seluruh pembelajaran ini, satu kesimpulan kristal muncul: transformasi civil society menuju ekonomi kolektif selalu bersifat jangka panjang, bertahap, dan berbasis institusi. Tidak ada lompatan instan.

Bagi Indonesia, transformasi ini membutuhkan pembagian peran yang saling melengkapi:

Ormas keagamaan adalah mesin produksi sosial. Mereka mengelola basis massa, tradisi kolektivitas, dan disiplin nilai. Tugas mereka: mengubah masjid, gereja, pura, vihara, pesantren, dan majelis taklim dari sekadar tempat ibadah menjadi sekolah ekonomi kerakyatan.

Jaringan intelektual dan alumni adalah arsitek sistem. Mereka merancang model tata kelola, kebijakan pendukung, dan integrasi dengan pasar serta negara modern. Tanpa peran mereka, ekonomi kolektif berisiko terjebak dalam romantisme tanpa skalabilitas.

Negara harus bertransformasi dari regulator yang represif menjadi enabler yang cerdas: menyediakan insentif fiskal, membuka akses pembiayaan, menciptakan ruang kompetisi yang adil.

Masyarakat luas harus berubah dari konsumen pasif menjadi produsen kolektif yang sadar.

Menghadapi Realitas dengan Kejujuran

Jalan ini tidak romantis. Sejarah koperasi Indonesia penuh dengan kegagalan, kooptasi, dan koperasi semu. Karena itu, transformasi ini mensyaratkan kejujuran internal: pembersihan dari praktik nepotisme, profesionalisasi manajemen, dan disiplin organisasi yang konsisten.

Namun justru di sinilah urgensi dan harapannya. Jika civil society terus berhenti pada advokasi, demokrasi Indonesia akan tetap rapuh—mudah dibeli oligarki, mudah disandera populisme. Sebaliknya, jika civil society berani masuk ke wilayah produksi dan distribusi, maka demokrasi memperoleh fondasi materialnya.

Transformasi ini bukan proyek lima tahunan. Ini adalah proyek generasi—pekerjaan 30 hingga 50 tahun. Namun sejarah global menunjukkan: bangsa yang berhasil dalam transformasi semacam ini bukanlah bangsa yang paling kaya sumber daya alamnya, melainkan bangsa yang paling sabar membangun institusi.

Menenun Masa Depan dari Benang yang Ada

Indonesia memiliki semua benang yang diperlukan: keragaman organisasi, tradisi gotong royong, jaringan intelektual, dan pengalaman sejarah. Yang kita butuhkan sekarang bukan revolusi yang menghentak, melainkan transformasi yang sabar—bukan ledakan, melainkan akar yang tumbuh perlahan.

Pada akhirnya, ekonomi kolektif bukan sekadar soal pertumbuhan, melainkan praksis politik baru—cara warga merebut kembali kedaulatan atas hidupnya sendiri.

Baca juga: Mendukbangga Wihaji Imbau Ayah Ambil Raport Anak

Baca juga: Malam Tahun Baru 2026, Bupati Pati Larang Warga Nyalakan Mercon

Sejarah Menunggu

Sejarah Indonesia adalah kisah komunitas-komunitas Nusantara yang bertaut. Bukan negara yang menciptakan bangsa ini, tetapi komunitas-komunitas itulah yang melahirkan negara. Mereka yang menyelamatkan republik saat krisis demi krisis: ketika kolonialisme menjarah, ketika revolusi bergolak, ketika ekonomi kolaps 1998, ketika pandemi menyergap. Kini, sejarah menunggu lagi—bukan untuk perlawanan heroik, melainkan untuk transformasi sunyi yang lebih dalam.

Peran baru telah ditetapkan zaman: komunitas-komunitas ini harus bangkit sebagai penyeimbang dalam konfigurasi ekonomi nasional yang kian timpang. Konsentrasi kekayaan yang ekstrem bukan hanya masalah keadilan, tetapi ancaman eksistensial bagi kelangsungan republik.

Namun, perlawanan kali ini bukan dengan senjata atau teriakan mikrofon di jalanan. Musuhnya bukan lagi penjajah asing yang kasat mata, melainkan struktur ekonomi yang membelenggu dari dalam. Senjatanya adalah kesabaran dan disiplin—kesabaran membangun institusi ekonomi kolektif lapis demi lapis, disiplin mengelola aset bersama dengan transparansi.

Transformasi ini adalah kerja kebudayaan yang fundamental: mengubah organisasi masyarakat dari mesin mobilisasi politik menjadi mesin produksi ekonomi. Setiap elemen civil society dipanggil untuk mengambil peran baru—bukan dengan meninggalkan identitas spiritual atau sosialnya, tetapi justru dengan mendalamkannya melalui praksis ekonomi yang berkeadilan.

Inilah jalan ketiga: bukan kapitalisme oligarkis yang menghisap, bukan sosialisme negara yang membelenggu, tetapi ekonomi kolektif berbasis komunitas—di mana pasar melayani manusia, bukan manusia diperbudak pasar.

Tugas kita sekarang sederhana namun berat: memulai. Memulai dari mengubah arisan menjadi koperasi produktif. Memulai dari mentransformasikan tempat ibadah menjadi sekolah ekonomi kerakyatan. Memulai dari membangun jaringan pemasaran alternatif. Memulai dari merancang sistem keuangan komunitas.

Sejarah tidak ditulis oleh mereka yang hanya mengeluh, tetapi oleh mereka yang membangun. Indonesia 2045—seabad kemerdekaan—akan ditentukan oleh apa yang kita mulai hari ini.

Komunitas-komunitas Nusantara telah membuktikan bisa menyelamatkan republik di masa krisis. Kini, di tengah krisis struktural yang lebih halus namun lebih berbahaya, mereka dipanggil lagi—untuk menyelamatkan republik dari dalam, melalui transformasi diri menjadi kekuatan ekonomi kolektif yang mandiri, adil, dan berdaulat.

Waktu tidak menunggu. Sejarah mencatat. Dan pilihan ada di tangan kita.

*M. Shoim Haris: Peminat Masalah Ekonomi Pembangunan

Komentar