Sang Ketua

Oeh: Marijo*

(Foto: Marijo, mantan sekretaris Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah)

Kabarpatigo.com - Saat dunia marak dengan pencitraan, memasuki strategi promosi yang penuh dengan ilustrasi, setiap langkah yang nampak hanya prestasi.

Semua seolah menjadi paling hebat walau dengan hasil sulap sesaat. Sifat itu jauh dari sang Ketua, prestasi Beliau asli, diukir dari jerih payah sendiri.

Ada kalanya watak bangga ketika orang memuji, riang dengan gemuruh tepuk tangan, atau baju kebesaran penuh tanda bintang penghargaan. Merasa puas ketika kedatangannya menjadi yang ditunggu, lobinya selalu menjadi penentu.

Berbagai aturan, prosedural, tahapan-tahapan, budaya antri, dan semacamnya bisa ditundukkan dengan kedudukan.

Sifat tersebut jauh dari watak sang Ketua, Beliau rela mengantri berjam-jam saat berobat di rumah sakit, walau milik persyarikatan sendiri.

Mendapat pelayanan terbaik dan prioritas tentu tidak susah bagi tokoh seperti Ayahanda Haedar Nashir. Sang Ketua Umum sebuah organisasi terbesar di dunia dengan berbagai amal usaha.

Ratusan perguruan tinggi, ribuan rumah sakit, sekolah, pesantren, tanah dan lainya dengan total asset kurang lebih 20 Triliun (Republika, 14 September 2018).

Banyak orang fasih membincangkan moralitas, karakter, sopan-santun, etika, akhlaq dengan fasih lengkap dengan dalilnya.

Berargumen luwes, runtut dan sistematis mengalahkan lawan bicara. Apalagi jika merasa diri terusik, menggoyang kedudukan, menggeser kenyamanan, merongrong kewibawaan dan mengancam polularitas, dalil dimunculkan disesuaikan dengan kebutuhan.

Sang Ketua tidak pernah risau soal kedudukan dunia atau pandangan manusia. Beliau menyakini memimpin Muhammadiyah sebagai wasilah mencari ridha Allah Swt.

Jangan ditanya tentang kesibukan, deret agenda kegiatan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Kesibukan tidak membuat lena dalam argumen banyak tugas umat yang dilakukan.

Karya buku yang ditulis terus mengalir sejalan dengan aktivitasnya. Setiap jeda waktu dalam sela-sela kegiatan diisi dengan membaca dan menorehkan karya.

Menjadi pemimpin umat “tengahan” yang tidak condong sekedar mengikuti arus kebanyakan orang. Moderasi Islam melekat dengan ajaran Islam mengenai konsep _wasatiyah_ atau Islam jalan tengah.

Konsep dasar Islam tentang _wasathiyah_ ini merupakan rumusan ijtihad yang lahir dari prinsip-prinsip Islam itu sendiri (Haedar Hashir: Suara Muhammadiyah, 30 Desember 2020).

Bersikap moderat berdasar pada Q.S. Al Baqarah ayat 143:

ÙˆَÙƒَØ°َÙ„ِÙƒَ جَعَÙ„ْÙ†َاكُÙ…ْ Ø£ُÙ…َّØ©ً ÙˆَسَØ·ًا Ù„ِتَÙƒُونُوا Ø´ُÙ‡َدَاءَ عَÙ„َÙ‰ النَّاسِ ÙˆَÙŠَÙƒُونَ الرَّسُولُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ Ø´َÙ‡ِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …’

Masih ingat kala Pilpres 2019, tidak sedikit dorongan dan tarikan untuk mendukung ke salah satu calon.

Muncul beberapa komunitas atau individu anggota persyarikatan yang merapat kedua belah kubu. Tidak sedikit _statement_ personal persyarikatan yang menganggap “peperangan” pilpres sudah layaknya “perang badar”.

Berbagai argumen, dalih, dan ketakutan terhadap masa depan membungkus rayuan untuk mendukung salah satu calon.

Melalui sang Ketua, Muhammadiyah tetap berada dalam khitah, tidak pernah muncul “fatwa” pribadi apalagi atas nama pesyarikatan yang disampaikan Pak Haedar condong ke salah satu calon.

Keputusan cerdas tersebut akhirnya terjawab, saat Jokowi dilantik banyak tokoh yang semula menjadi “rival” kemudian berubah merapat ke barisan pendukung Jokowi.

Pak Haedar pernah menyatakan dalam pidatonya, kontestasi kekuasaan selalu berjalan seperti itu, tidak perlu menganggap sebagai sesuatu yang mutlak kebenaran atau sebaliknya.

Kita tidak boleh menganggap bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang “kotor”, kita tidak boleh suuzan dengan para kinerja pejabat. Bisa jadi kekuasaan yang didapat memang layak didapat sesuai dengan ihtiar yang dilakukan. Kekuasaan yang didapat telah dilaksanakan dengan sebaik mungkin, seandainya kita berbeda paham mungkin karena berada dalam sudut pandang yang berbeda. (red)

*Pegiat Pendidikan Muhammadiyah Salatiga

Komentar